(Joe million)
Bagaimana bisa tidur saat hati berkelana
Kuda tanpa pelana langit gundah gulana
Semua dalam petualangan aku di dalam ruangan
Menampik isi hati yang katanya bualan
Tanpa mercusuar berkesudahan lantunan
Secepat mata angin yang berubah dan timbulkan gejolak dalam hati
Ku menolak menikmati, mati dalam arti
Nadiku kau garis zig zag
Tersiksa ku dalam kenyamanan
Aku tidak kenal aral aku tidak pernah kalah
Ku hindari pelanggaran hanya penggemar yang mengintip dari bayang
Dan hilang dalam khayal
Akal sayat perlahan jantung
Dan sambil harap ujung jalan kegagalan tak kan pernah berpapasan
Sampai terbang mengangkasa
Ku Icarus yang perkasa, ku ingkari jasad ku tinggal berlari
Salik, buatku rasa salib terbalik
Ikatkan tali temali badanku di bawah kendali
Angan di atas pengaruh dan kepalaku terlepas
Segala yang mendekat terpental
Kata menghempas sembunyi balik puisi
Karena ku tak inginkan kau menatap dingin wajah ini
Kadang ku banyak keluh kesah yang tak perlu
Tangan seka peluh engkau menantikan peluk
Malam kau tersedu makin larut kau tersudut
Seluruh kota bersorak langit cerah kau meredup
Kau merenung, meraba kosong relung
Sebut namaku di dalam doa kau tersenyum
Air matamu terjatuh apa yang ku harap
Durhaka ku lakukan kasihku sebulu mata
Dengan gampang ku lupakan dan berbalik meludah kau
Aku tak pernah pantas namun semua kau bantah
Tak engkau elakkan kasihmu relakan
Semua serahkan masihku serakah
Tak ingin dengar hanya mau didengarkan
Ku tersesat dalam rasa sesal
Mereka bilang abstrak pada proyeksi astral
Yang coba ku tampilkan gambar atas hamparan kertas
Dan ku sandingkan berdansa dengan sang beat yang
Cantik nan jelita curi hati sang telinga
Selidik telusuri arus emosi lucuti topeng-topeng menutupi
Lekuk sesungguhnya dunia yang terpendam rutinitas yang ku geluti
Kau tak pernah perlu bukti hanya breaks dalam looping
(Don Wilco)
Pejamkan mata, ku semakin gelap mata
Dalam menuliskan rima tuk lepas sesak di dada
Sejak dulu kala, ku tak takut bila kalah
Bila malam kan menang, ku kan tatap senja kala
Ingin ekspansi kata, seperti jarah kata
Lalu tunjuk Seringai-ku Kala membakar Jakarta
Tapi dunia ini fana, ku hanya bisa pasrah
Bagai benang kusut yg tak bisa merajut asa
Menenggak anggur di kala menganggur
Sampai pandangan kabur melihat waktu lari kabur
Orang tua menegur kapan ku mulai bertempur
Karena mimpi tak bisa diraih hanya dengan mendengkur
Nikmati sore hingga mati suri di taman
Di batas lelah ku di temani bangku taman
Ingin angkat tangan, tapi hati bilang jangan
Jadi aku turun tangan terus merangkak berjalan
Pukulan keras Hellcrust hingga ku kalut
Nikmati ketukan Gorust di kala maut
Dinamika carut marut dalam hidup serba butut
Buat apa besar kepala jika jadi buntut
Ku menuntut, tuntutan sosial yg telah ku runut
Dari berapa banyak api yg sudah ku sulut
Terlalu banyak ku bersujud pada makhluk tak berwujud
Ku ingin angkat kaki daripada ku berlutut
Di atas Altar Logika langkahku selamanya berderap
Atas nama kesunyian ku mau hilang sekejap
Asam garam kehidupan jadikan bumbu penyedap
Untuk setiap dogma basi yang selalu aku santap
Iringan musik sendu terdengar dari radio
Membunuhku dari dalam seperti onadio
Masuki studio, aku terapi audio
Bebaskan ide liar dari belenggu rasio
Mencari intisari setiap masalah ku jamu
Menjadi inti dari tiap langkah yang ku pacu
Hidup memang rancu, buatku semakin kaku
Tak bisa bangun dan kini aku jatuh
Mungkin aku butuh les (Laze) tuk bisa Onar
Atau Joe Million agar aku lebih vulgar
Aku gusar jadi normal, 40 bar ku obral
Ku tak suka diperhitungkan karena aku sudah total